Beberapa
waktu lalu, ada sesuatu yang cukup menarik perhatian saya. Sesuatu yang mungkin
sudah cukup sering saya temui terutama di dunia maya, khususnya jejaring
sosial. Apalagi kalau bukan tentang perbedaan pendapat yang terjadi dalam umat
Islam. Mungkin saya bukan orang yang aktif terlibat di dalamnya ketika salah
seorang membahas tentang hukum ini itu tapi sejujurnya saya merupakan pengamat
yang aktif untuk mengikuti pembahasan yang terjadi. Ketika seseorang memlilih
untuk menulis atau setidaknya berbagi tulisan, berita tentang sesuatu yang
menurut saya kontroversial di dalam akun jejaring sosial, tentunya ia harus
siap dengan segala konsekuensinya. Tulisan atau berita seperti itu tentu saja
akan mengundang perhatian pembaca.
Ada yang berkomentar positif dalam arti
mendukung si pemilik akun karena dianggap sebagai salah satu bentuk dari
dakwah. Namun tak jarang ada juga komentar dari pihak yang tidak setuju dengan
pernyataan tersebut. Hal yang kurang saya senangi dari kejadian itu adalah
munculnya perdebatan yang tak kunjung selesai dan yang lebih ditakutkan lagi
rusaknya ukhuwah karena masing-masing pihak tidak mau menurunkan egonya. Yang
sering kali tidak disadari yaitu pasti ada pihak yang merasa dirugikan, dihina,
atau dikecewakan dri tulisan tersebut. Yang lebih menggelitik hati saya yaitu
ketika sampai ada yang memberi label buruk yang sungguh sangat tidak pantas
kepada orang lain bahkan termasuk salah seorang ulama’ yang berbeda pandangan
dengannya. Dan yang sangat ironis dan menyedihkan bagi saya adalah ketika hal
tersebut ternyata dilakukan oleh seseorang yang mendapat label sebagai aktivis
dakwah.
Dalam kehidupan nyata, kita
dihadapkan pada kenyataan banyaknya “ragam atau “warna” umat Islam. Di
Indonesia saja, ada cukup banyak kelompok masyarakat Islam seperti Nahdlatul
‘Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam dan masih banyak lagi yang lain. Tidak
jarang kelompok itu berbeda-beda dalam menyikapi suatu persoalan. Perbedaan
pendapat semacam itu sebenarnya sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Setelah
perang Ahzab (Perang Sekutu) yang dimenangkan oleh pasukan Islam, Nabi SAW.
menyuruh pasukan Muslim untuk pergi ke tempat suku Bani Quraizhah. Ketika itu,
Nabi berpesan kepada para sahabat, “Jangan shalat Asar kecuali di tempat Bani
Quraizhah.” Para sahabat tentu mematuhi pesan itu. Tetapi ketika masuk waktu
Asar dan mereka masih dalam perjalanan, timbul perbedaan pendapat di antara
mereka. Ada yang melakukan shalat Asar dalam perjalanan, yang berarti “melawan”
pesan Nabi SAW. agar tidak shalat Asar kecuali di tempat Bani Quraizhah.
Kelompok yang lain tidak melaksanakan shalat Asar kecuali setelah tiba di Bani
Quraizhah nanti, walaupun saat itu waktu Asar sudah lewat. Yang satu mengatakan
bahwa substansi dari pesan Nabi adalah menyuruh bersegera agar tiba di Bani
Quraizhah sebelum waktu Asar lewat dan melaksanakan shalat Asar di sana.
Sementara yang lain berpendapat bahwa substansi pesan Nabi adalah melakukan
shalat Asar di sana, walaupun waktu Asar telah lewat. Ketika Nabi saw.
mendengar hal itu, Nabi tidak menyalahkan salah satu dari mereka. Kedua-duanya
dianggap benar. Karena apa yang mereka lakukan itu berdasarkan pemahaman mereka
masing-masing.
Begitu juga dengan kita, wajib
hukumnya bagi kita umat Islam menjadi umat yang bersatu, tidak terpecah belah. Ketika
umat Islam menjadi kelompok-kelompok yang terpecah belah, satu sama lain saling
memvonis sesat maka di saat itulah syaitan tertawa bahagia karena perpecahan
yang terjadi akan merusak dan mengakibatkan lemahnya umat Islam. Ketika
perbedaan pendapat terjadi, yang harus dilakukan kita sebagai umat Islam adalah
- Meniti jalan yang telah ditempuh oleh sahabat ra, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang bersumber dari ijtihad adalah dalam taraf masalah yang masih bisa ditolerir sehingga sudah seharusnya kita sikapi dengan toleran dan saling menghormati.
- Satu hal yang harus selalu diingat, walaupun imam-imam madzab fikih berbeda pendapat dalam beberapa persoalan hukum, mereka tidak saling menyalahkan yang lain.
- Tidak menganggap pendapatnya yang paling benar dan menilai pendapat orang lain salah karena masing-masing pendapat yang diikuti ada dalilnya. Syaikh Jum’ah Amin Abdul ‘Aziz dalam kitabnya, Ad-Da’wah, Qawa’id wa Ushul. Beliau berkata, “Perbedaan pendapat itu bukan aib. Aib itu ada pada fanatisme kelompok terhadap suatu pendapat dengan mengesampingkan pendapat lain.”
Dalam menyikapi perbedaan dalam masalah furui’yah (cabang), berlapang dadalah
agar ikatan ukhuwah yang telah terjalin kuat dan indah sebelumnya tidak rusak dan
terputus karenanya. Ketika kita digiring pada suatu keadaan dimana perbedaan
pendapat itu muncul, semoga Allah SWT senantiasa memampukan kita untuk
menyikapinya dengan lemah lembut, pikiran yang jernih serta sikap yang arif dan
bijaksana.
“Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin dalam
kehidupan, setiap orang adalah guru bagi kita. Siapapun mereka. Yang baik, juga
yang jahat. Betapapun yang mereka berikan pada kita
selama ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya, mereka tetaplah guru-guru
kita. Bukan karena mereka orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah
yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana.” -Salim A. Fillah, Dalam Dekapan Ukhuwah.
By Wildatus Sholichah (Staff PSDI MSI Ulul Ilmi 14/15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pembaca yang cerdas adalah pembaca yang kritis.
Silahkan komen ya demi kemajuan blog ini...