Pages

Minggu, 24 Mei 2015

Karena Selamanya Hidup Kita Hanya Belajar

Oleh : Sekar Hati Putri

Sore ini, pikiranku sedang tidak berada pada buku catatan yang ada di depanku. Aku justru kembali mengingat-ingat percakapanku setahun yang lalu dengan seorang teman,
''kok, kamu nggak jadi daftar sih put?''
''maaf banget ya rum, aku takut ntar kegiatan pengkaderannya masih sama seperti tahun kita. Takutnya aku nggak bisa profesional, malah ribet jadinya ntar''
''yaudah deh kalo gitu, tapi taun depan, kalo bisa kamu gabung ya disini :) ''
''oke rum, InshaAllah :) ''
Sambil tetap melihat-lihat buku catatan yang kosong, aku juga teringat pada salah satu organisasi yang baru saja kulepas amanahnya beberapa hari yang lalu, kemudian muncul satu pertanyaan, 'siapa yang akan meneruskan perjalanan selanjutnya, ketika hampir dari separuh yang lain tidak ada yang akan melanjutkan? ' pikirku saat itu.
Ah, sepertinya kupikirkan nanti saja lah, daripada aku pusing sendiri . . . .

3 Bulan Kemudian . . .

''Put, ayo datang ke Balai RW Jl. Gerbang!''
''Hah, ngapain rum? Ada yang nikahan?''
''Ya enggaklah, ada laporan pertanggungjawaban dari organisasi ini nih''
''Ooh, tapi kan aku bukan anggotanya rum, nggak enak ah''
''Udah gapapa dateng aja, yuk bareng sama aku''
Singkat cerita, entah dari mana asalnya, tiba-tiba aku merasa yakin untuk 'ya, aku akan berjuang disini'. Dan akhirnya, resmilah aku berada di tengah-tengah orang yang mau bekerja sama di jalan yang pastinya tidak akan mudah, di jalan yang menuntut untuk terus bekerja dan tidak mudah menyerah, yaitu di jalan dakwah bersama MSI Ulul Ilmi 14/15.
*********************************
Di awal kepengurusan dengan 4 orang staff, lalu ditengah kepengurusan bertambah menjadi 5 orang staff, aku sebagai salah satu koordinator putri departemen, dan dengan salah seorang kepala departemen mulai menjalankan tugas dakwah ini di lingkungan kampus kami, yaitu Jurusan Teknik Industri. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja, mulai dari proses pembuatan program dakwah, syuro’ (re : rapat) rutin, dan pelaksanaan program dakwah itu sendiri. Awalnya, aku merasa aneh ketika rapat, yang mengharuskan menggunakan hijab (re : pembatas) jadi antara perempuan dan laki-laki tidak dapat saling melihat satu sama lain. Walaupun dulu di SMA aku juga pernah ikut dalam organisasi kerohanian, tapi tidak seperti ini, sehingga tetap membaur satu sama lain. Selain itu juga dengan batasan-batasan waktu ketika melakukan rapat, maksimal harus selesai pukul 6 malam. Berbeda dengan organisasi lain yang rata-rata justru baru mulai rapat sekitar pukul 7 malam dan selesai sekitar pukul 10 malam. Namun jika dilihat dari sisi yang lain, hal itu justru memudahkan kita, para perempuan khususnya, agar kita bisa segera pulang ke rumah atau kos masing-masing dan keselamatan kita bisa terjaga. Bandingkan ketika selesai rapat sudah pukul 11 malam, seorang perempuan pulang sendiri dan keadaan di jalan sudah cukup sepi, belum lagi dengan tingginya tingkat kriminalitas di kota pahlawan yang sedang marak akhir-akhir ini. Dari beberapa kali rapat, akhirnya aku mulai memahami sifat masing-masing orang yang ada di departemenku. Agar aku bisa lebih dekat dengan mereka semua, seringkali diluar jadwal rapat, aku masih menyempatkan diri ketika ada dari mereka yang ingin curhat, atau sekedar bertanya tentang mata kuliah yang mereka belum mengerti. Dari situlah akhirnya aku pelan-pelan mulai merasa nyaman, baik dengan departemenku sendiri, maupun dengan yang lain.
Selama kepengurusan ini berjalan, aku mulai belajar. Belajar untuk memahami orang lain, belajar untuk bekerja sama dengan orang lain, belajar untuk tidak selalu memaksakan kehendak, belajar untuk saling menghargai, belajar untuk disiplin, belajar untuk menahan kekecewaan ketika apa yang aku inginkan tidak tercapai, belajar untuk terus sabar menghadapi sifat teman-teman yang lain, dan belajar untuk menumbuhkan rasa memiliki. Memiliki MSI Ulul Ilmi dengan kesadaran, bukan suruhan, apalagi paksaan.
Namun, ketika aku berproses dalam organisasi ini, pasti pernah terjadi hal-hal seperti misskomunikasi, kehadiran rapat yang kadang-kadang tidak maksimal, atau entah kenapa rasa malas dan penat karena tugas kuliah yang sudah cukup banyak menjadi penghalang untuk memikirkan keadaan dakwah ini. Belum lagi dengan adanya percikan-percikan amarah yang pernah terjadi, anggapan bahwa “apa-apa aku yang ngerjain, aku yang berkorban lebih daripada yang lain, sedangkan mereka? Apa kontribusi yang mereka lakukan? Kalo gitu aku juga mbambet aja” seperti itu justru membuat semakin malas untuk bekerja lebih, dan akhirnya, kita jadi mengungkit-ungkit hal-hal yang telah kita lakukan, dan berujung kepada, keikhlasan kita.
Diluar itu semua setidaknya aku mengerti, bagaimana antusiasme stakeholder lain dalam kegiatan keagamaan seperti ini, bagaimana susahnya memiliki “pemimpin” yang kurang mendukung kegiatan yang kami lakukan, dan bagaimana caranya agar kita tidak patah semangat, goyah ditengah jalan, dan lebih memilih pergi dibanding bertahan serta memperbaiki keadaan. Mungkin memang tidak mudah, tetapi disinilah nilainya, untuk apalagi kita berjuang di jalan dakwah selain hanya untuk meraih ridho-Nya? Jika ada seseorang yang pernah berkata, “Surga itu manis karena berjuang itu pahit” memang benar, jika bisa dianalogikan, maka orang yang berjuang di jalan dakwah itu seperti seseorang yang berjalan di lereng pegunungan. Akan ada saat ketika kaki kita tertusuk kerikil tajam di sepanjang perjalanan, ada saat ketika kita lelah dan tidak ada teman untuk saling memberi semangat, kita jatuh kedalam jurang, dan ada saat ketika kita menjadi ragu-ragu apakah harus sampai ke tempat tujuan atau justru pulang dan berbalik arah. Tetapi jika kita mengerti, apa yang menunggu kita diatas sana, pasti kelelahan tersebut akan sirna dan dengan langkah pasti, kita terus berjalan walaupun dengan menahan rasa sakit, hingga sampailah kita kepada nikmat yang Ia janjikan.

Minggu, 10 Mei 2015

Cinta dalam Doa


Masih teringat jelas sebulan yang lalu merupakan hari yang membahagiakan bagi Affan dan Laras. Bagaimana tidak, tepat pada tanggal 12 bulan 12 tahun 2012 akhirnya mereka dapat di persatukan dalam ikatan suci pernikahan. Kisah cinta mereka begitu romantis. Sudah sejak lama Affan jatuh hati kepada Laras. Namun, Affan selalu bersabar dan menunggu. Ia tak mau cintanya ini salah.
Cinta dalam doa. Itulah yang dilakukan Affan tiap harinya. Ia percaya bahwa Tuhannya Maha Romantis. Ia percaya jika memang Laras adalah pendamping hidupnya maka Allah pasti akan mendekatkannya dan jika tidak, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Keyakinan Affan pun terbukti, Allah memang benar-benar Maha Romantis. Dan diam-diam ternyata Laras juga sudah menaruh hati kepada Affan. Ia pun dengan setia menunggu lamaran dari Affan.
Affan dan Laras harus rela berpisah sementara. Mereka harus menyelesaikan kuliah masing-masing. Maklum, mereka menikah di usianya sangat muda. Saat ini, Affan sedang menempuh pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) jurusan teknik industri semester 8 sedangkan istrinya kuliah di Universitas Diponegoro Semarang jurusan kesehatan masyarakat semester 6. Meskipun terpisah oleh ruang dan waktu, mereka tetap hidup bahagia. Affan merupakan suami yang perhatian, tak lupa tiap hari ia selalu menanyakan kabar istrinya. Istrinya pun juga sebaliknya, selalu mengingatkan Affan untuk menjaga ibadahnya.
Hari demi hari mereka jalani dengan kerinduan. Dan tak terasa, Affan telah lulus dari kuliahnya. Ia lulus dengan IP cumlaude dan menjadi lulusan terbaik di fakultasnya. Betapa bangga Laras terhadap suaminya ini. Ia sebenarnya mendapat beasiswa S-2 ke luar negeri. Namun ia tak tega meninggaalkan istrinya sendiri. Ia pun memutuskan mencari pekerjaan di Semarang agar dapat serumah dengan istrinya.
Setelah mengajukan lamaran ke berbagai perusahaan, akhirnya Affan di terima di perusahaan otomotif terkemuka di Semarang.  Ia pun menyewa rumah untuk tinggal bersama istrinya. Rumahnya begitu sederhana. Ukurannya hanya (10 x 10) m. Tapi begitu mewah bagi mereka berdua. Rumah itu mereka bangun dengan penuh cinta. Mereka berdua hidup sangat bahagia. Terlebih bagi Affan, ia pun tak henti-hentinya bersyukur atas nikmat yang Allah berikan.
Mereka jalani hari demi hari dengan cinta. Kalau dulu biasanya membuat teh sendiri, kali ini sudah ada yang membuatkan dan yang menemaninya. Kalau dulu pulang kuliah terasa lelah dan letih, kali ini pulang kerja terasa sumringah karena sudah ada yang menyambut dengan manis. Bahagia itu memang sederhana.
Minggu ini, secara mendadak Affan mendapat tugas dari atasannya untuk menghadiri konferensi di Bali. Ia pun harus rela meninggaalkan istrinya sendiri.
“Sayang, jaga diri ya. Cuman seminggu kok. Pokoknya kalau ada apa-apa langsung hubungi saja. Yaudah aku berangkat dulu. Assalamualaikum” pamit Affan sambil menciup kening istrinya
“Waalaikumsalam” jawab Laras dengan senyuman.
Laras yang biasanya selalu diantar suaminya ke kampus, kali ini harus naik motor sendiri. Ia harus lebih berhati-hati karena punya pengalaman sudah beberapa kali jatuh dari sepeda motor. Affan sudah menawarkan untuk naik angkot atau taksi. Tapi, Laras menolak lantaran untuk menghemat biaya.
Sejak 4 hari dari kepergian suaminya, kejadian yang tak inginkan pun terjadi. Laras mengalami kecelakaan parah. Ia harus dilarikan ke rumah sakit. Di waktu yang sama Affan juga mengalami musibah, Handphone-nya raib dimaling orang. Affan seperti mendapat firasat buruk. Beberapa jam kemudian ia mendapat kabar dari perusahaannya bahwa istrinya mengalami kecelakaan dan sedang dirawat di rumah sakit.
            “Innalilahi Wa Inna Ilaihi Rajiun, Ya Allah ada apa ini? Tolong jaga dan sembuhkanlah istriku, Ya Allah” doanya.  
            Affan pun bergegas balik ke Semarang. Namun, Allah berkehendak lain. Allah lebih sayang Laras. Laras menghembuskan napas terakhirnya sebelum Affan tiba. Begitu hancur hati Affan. Allah telah mengambil kekasih hatinya. Nampak Affan tak sanggup lagi menahan air matanya yang mulai turun dan membasahi pipinya. Tangannya masih bergetar sambil menggenggam erat istrinya yang mulai terbasahi oleh tetesan-tetesan air mata yang jatuh. Affan pun menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa selain menahan kesedihannya saat ini. Namun, dalam hatinya ia tetap yakin, ini adalah jalan terbaik yang telah Allah berikan. Ia harus menerimanya.
“Sayang percayalah, walau kita terpisah, kita akan tetap memiliki satu cinta yang sama walaupun berada di dua dunia yang berbeda sekalipun. Seperti itulah cinta kita. Sampai bertemu lagi sayangku, di akhirat nanti. Aku selalu mencintaimu” doanya.

Sabtu, 09 Mei 2015

Indahnya Berprasangka Baik




Masih teringat jelas saat itu ketika hendak tidur bapak menceritakan kisah salah satu raja yang berasal dari Kerajaan Kadipiro. Raja Rofi namanya. Raja tersebut memiliki kekayaan yang sungguhlah luar biasa. Hampir tak bisa terhitung. Luas kerajaannya saja hampir sama dengan 10 kali lapangan sepak bola. Karena begitu kayanya, setiap perabotan yang ada di kamar raja tersebut berlapiskan emas. Kehidupan sehari-hari Raja Rofi sungguhlah tentram. Jika butuh sesuatu, ia tinggal memanggil suruhannya. Semua pasti dituruti.
Raja Rofi memiliki sahabat karib bernama Zain. Mereka telah berteman sejak kecil. Zain sudah dianggap sebagai adik sendiri. Namun, hal yang aneh dari Zain ini adalah mempunyai kebiasaan untuk mengucapkan, “Ini adalah sesuatu yang baik” atas semua peristiwa yang terjadi : baik maupun buruk.
 Suatu hari Zain mengajak Raja Rofi untuk pergi berburu ke hutan. Memang selama ini Raja Rofi memiliki hobi berburu di hutan. Karena seringnya berburu, ia terkenal sebagai penembak yang jitu. Hampir semua binatang yang ia bidik pasti tepat sasaran. Hal itulah yang membuat Raja Rofi menerima dengan senang hati ajakan sahabat karibnya.
Kali ini mereka ingin berburu ular sanca yang selama ini selalu meresahkan masyarakat kerajaan. Seperti biasa, sahabatnya menyiapkan senjata dan mengisi amunisinya. Ternyata sahabatnya melakukan kesalahan dalam menyiapkan amunisi sehingga sang raja secara tidak sengaja menembak ibu jarinya sendiri. Ia mengira senjata tersebut tidak berpeluru. Ibu jarinya pun terluka parah.
Melihat keadaan raja, mereka memutuskan pulang. Sahabatnya pun segera memanggil tabib untuk mengobati luka raja.
Tabib berkata,
”Maaf paduka raja, luka ibu jari raja sungguhlah parah. Harus segera diamputasi apabila tidak, sakitnya akan menjalar ke seluruh tubuh.”
Mendengar perkataan tabib tersebut, raja pun sontak kaget.
“Apa! Semua ini terjadi karena kamu, Zain!” raja menjadi marah.
Zain pun berkata,
”Tenang raja, ini adalah sesuatu yang baik.”
“Baik apanya! Kamu bisa lihat sendiri, ibu jariku harus dipotong!” sergah raja.
“Prajurit penjarakan dia!” perintah raja dengan wajah merah padam.
Dengan teganya Raja Rofi memenjarakan sahabatnya yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri. Zain pun harus rela menghabiskan hidupnya di balik jeruji penjara. Ibunya hanya bisa menangis sambil merengek kepada raja memohon anaknya dibebaskan. Namun, hati raja tak goyah sama sekali. Ia sudah begitu murka akibat kelalaian anaknya.
***
Setahun kemudian, raja pergi berburu lagi. Kali ini ia pergi berburu sendiri. Karena ingin mencoba hal baru, ia memasuki wilayah terlarang yang seharusnya ia jauhi. Ia memasuki wilayah sarang sekelompok kanibal atau pemakan manusia. Karena tak bisa melakukan perlawanan, sekelompok kanibal pun menangkap dan membawa raja ke desa mereka. Mereka mengikat tangan raja, menyiapkan kayu bakar, memancangkan tiang, dan mengikat raja di tiang itu. Raja pun tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah sambil berdoa,
“Tuhan, tolong selamatkan hambamu ini”.
Ketika hendak menyalakan api, mereka melihat ibu jari raja sudah tidak ada. Karena kepercayaan mereka pada tahayul, dimana mereka tidak boleh memakan seseorang yang bagian tubuhnya tidak utuh. Akhirnya mereka pun melepaskan ikatan raja dan membiarkannya melenggang bebas.
Sesampainya di kerajaan, raja teringat pada kejadian yang membuat ibu jarinya hilang. Betul sekali, sahabat karibnya. Ia merasa menyesal atas perlakuannya terhadap sahabatnya. Lalu ia bergegas ke penjara menemui sahabatnya.
“Maafkan aku wahai sahabatku, engkau benar” katanya.
“Ibu jariku tertembak adalah sesuatu yang baik”.
  Raja kemudian membebaskannya dan menceritakan semua kejadian yang belum lama ini dialaminya.
“Aku menyesal sekali telah memenjarakanmu begitu lama. Ibumu telah meminta-minta setiap hari tapi tak pernah kugubris. Sungguh perbuatanku sangatlah keji,” kata raja penuh penyesalan.
“Tidak,” kata Zain.
“Itu adalah sesuatu yang baik!”
“Apa maksudmu?
Bagamana mungkin itu sesuatu yang baik sedangkan aku memenjarakan sahabat karibku yang sudah ku anggap sebagai adik sendiri selama ini?” kata raja keheranan.
“Kalau aku tidak engkau penjara, aku pasti saat itu akan bersamamu. Dan dimakan oleh pemangsa manusia seperti yang engkau ceritakan! Jadi raja, kita sebagai hamba-Nya sudah sepatutnya selalu bersyukur dalam keadaan apapun, baik senang maupun sedih” kata temannya menjelaskan.
*Disarikan berbagai sumber
 

Blogger news

Blogroll

About