Oleh : Sekar Hati Putri
Sore ini, pikiranku sedang tidak berada pada buku
catatan yang ada di depanku. Aku justru kembali mengingat-ingat percakapanku
setahun yang lalu dengan seorang teman,
''kok, kamu nggak jadi daftar sih put?''
''maaf banget ya rum, aku takut ntar kegiatan pengkaderannya
masih sama seperti tahun kita. Takutnya aku nggak bisa profesional, malah ribet
jadinya ntar''
''yaudah deh kalo gitu, tapi taun depan, kalo bisa
kamu gabung ya disini :) ''
''oke rum, InshaAllah :) ''
Sambil tetap melihat-lihat buku catatan yang kosong,
aku juga teringat pada salah satu organisasi yang baru saja kulepas amanahnya
beberapa hari yang lalu, kemudian muncul satu pertanyaan, 'siapa yang akan
meneruskan perjalanan selanjutnya, ketika hampir dari separuh yang lain tidak
ada yang akan melanjutkan? ' pikirku saat itu.
Ah,
sepertinya kupikirkan nanti saja lah, daripada aku pusing sendiri . . . .
3 Bulan Kemudian . . .
''Put, ayo datang ke Balai RW Jl. Gerbang!''
''Hah, ngapain rum? Ada yang nikahan?''
''Ya enggaklah, ada laporan pertanggungjawaban dari
organisasi ini nih''
''Ooh, tapi kan aku bukan anggotanya rum, nggak enak
ah''
''Udah gapapa dateng aja, yuk bareng sama aku''
Singkat cerita, entah dari mana asalnya, tiba-tiba
aku merasa yakin untuk 'ya, aku akan berjuang disini'. Dan akhirnya, resmilah
aku berada di tengah-tengah orang yang mau bekerja sama di jalan yang pastinya
tidak akan mudah, di jalan yang menuntut untuk terus bekerja dan tidak mudah
menyerah, yaitu di jalan dakwah bersama MSI Ulul Ilmi 14/15.
*********************************
Di awal kepengurusan dengan 4 orang
staff, lalu ditengah kepengurusan bertambah menjadi 5 orang staff, aku sebagai salah
satu koordinator putri departemen, dan dengan salah seorang kepala departemen
mulai menjalankan tugas dakwah ini di lingkungan kampus kami, yaitu Jurusan
Teknik Industri. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja, mulai dari proses
pembuatan program dakwah, syuro’ (re
: rapat) rutin, dan pelaksanaan program dakwah itu sendiri. Awalnya, aku merasa
aneh ketika rapat, yang mengharuskan menggunakan hijab (re : pembatas) jadi
antara perempuan dan laki-laki tidak dapat saling melihat satu sama lain.
Walaupun dulu di SMA aku juga pernah ikut dalam organisasi kerohanian, tapi
tidak seperti ini, sehingga tetap membaur satu sama lain. Selain itu juga
dengan batasan-batasan waktu ketika melakukan rapat, maksimal harus selesai
pukul 6 malam. Berbeda dengan organisasi lain yang rata-rata justru baru mulai
rapat sekitar pukul 7 malam dan selesai sekitar pukul 10 malam. Namun jika
dilihat dari sisi yang lain, hal itu justru memudahkan kita, para perempuan
khususnya, agar kita bisa segera pulang ke rumah atau kos masing-masing dan
keselamatan kita bisa terjaga. Bandingkan ketika selesai rapat sudah pukul 11
malam, seorang perempuan pulang sendiri dan keadaan di jalan sudah cukup sepi,
belum lagi dengan tingginya tingkat kriminalitas di kota pahlawan yang sedang
marak akhir-akhir ini. Dari beberapa kali rapat, akhirnya aku mulai memahami
sifat masing-masing orang yang ada di departemenku. Agar aku bisa lebih dekat
dengan mereka semua, seringkali diluar jadwal rapat, aku masih menyempatkan
diri ketika ada dari mereka yang ingin curhat, atau sekedar bertanya tentang
mata kuliah yang mereka belum mengerti. Dari situlah akhirnya aku pelan-pelan
mulai merasa nyaman, baik dengan departemenku sendiri, maupun dengan yang lain.
Selama kepengurusan ini berjalan, aku
mulai belajar. Belajar untuk memahami orang lain, belajar untuk bekerja sama
dengan orang lain, belajar untuk tidak selalu memaksakan kehendak, belajar
untuk saling menghargai, belajar untuk disiplin, belajar untuk menahan
kekecewaan ketika apa yang aku inginkan tidak tercapai, belajar untuk terus
sabar menghadapi sifat teman-teman yang lain, dan belajar untuk menumbuhkan
rasa memiliki. Memiliki MSI Ulul Ilmi dengan kesadaran, bukan suruhan, apalagi
paksaan.
Namun, ketika aku berproses dalam
organisasi ini, pasti pernah terjadi hal-hal seperti misskomunikasi, kehadiran rapat yang kadang-kadang tidak maksimal,
atau entah kenapa rasa malas dan penat karena tugas kuliah yang sudah cukup
banyak menjadi penghalang untuk memikirkan keadaan dakwah ini. Belum lagi
dengan adanya percikan-percikan amarah yang pernah terjadi, anggapan bahwa “apa-apa aku yang ngerjain, aku yang
berkorban lebih daripada yang lain, sedangkan mereka? Apa kontribusi yang
mereka lakukan? Kalo gitu aku juga mbambet aja” seperti itu justru membuat
semakin malas untuk bekerja lebih, dan akhirnya, kita jadi mengungkit-ungkit
hal-hal yang telah kita lakukan, dan berujung kepada, keikhlasan kita.
Diluar itu semua setidaknya aku
mengerti, bagaimana antusiasme stakeholder
lain dalam kegiatan keagamaan seperti ini, bagaimana susahnya memiliki “pemimpin”
yang kurang mendukung kegiatan yang kami lakukan, dan bagaimana caranya agar
kita tidak patah semangat, goyah ditengah jalan, dan lebih memilih pergi
dibanding bertahan serta memperbaiki keadaan. Mungkin memang tidak mudah,
tetapi disinilah nilainya, untuk apalagi kita berjuang di jalan dakwah selain
hanya untuk meraih ridho-Nya? Jika ada seseorang yang pernah berkata, “Surga itu manis karena berjuang itu pahit”
memang benar, jika bisa dianalogikan, maka orang yang berjuang di jalan dakwah
itu seperti seseorang yang berjalan di lereng pegunungan. Akan ada saat ketika
kaki kita tertusuk kerikil tajam di sepanjang perjalanan, ada saat ketika kita
lelah dan tidak ada teman untuk saling memberi semangat, kita jatuh kedalam
jurang, dan ada saat ketika kita menjadi ragu-ragu apakah harus sampai ke
tempat tujuan atau justru pulang dan berbalik arah. Tetapi jika kita mengerti,
apa yang menunggu kita diatas sana, pasti kelelahan tersebut akan sirna dan dengan
langkah pasti, kita terus berjalan walaupun dengan menahan rasa sakit, hingga
sampailah kita kepada nikmat yang Ia janjikan.